Sabtu, 30 November 2013

Cerpenku

Di lapangan sekolah yang tidak terlalu luas, nampak siswa laki laki bermain bola basket bebarengan dengan siswa lainnya. Di depan kelas, beberapakerumunan siswa berbincang bercanda di kantin. Mereka berebut minta dilayani.

Bel berbunyi tanda istirahat telah usai, anak anak bergegas menuju kelasnya masing masing. Ada yang segera mengakhiri main bola basket, berbincang dan bercanda tawa di teras kelas, bahkan banyak juga anak yang berjejal di kantin sekolah. Masing masing berebut membayar jajan. Semua ingin segera dilayani, khawatir telat masuk kelas. Aku pun demikian, berebut ingin dilayani dulu.

Seusai istirahat, di kelasku IX D jadwal pelajaran Bahasa Indonesia. Pelajaran Bahasa Indonesia merupakan pelajaran yang disukai sisa, selain tidak terlalu sulit, gurunya pun menyenangkan. Guru yang satu ini bila mengajar tidak membosankan, ada ada saja metode yang diterapkan. Mungkin ini cara yang diterapkan agar siswa tidak jenuh, mengingat pelajaran Bahasa Indonesia sudah dipelajari sejak SD. Ini mungkin yang disadari oleh guruku. Ya, agar tidak membosankan. Aku pun merasakan hal yang sama dengan teman teman.

"Siapa diantara kalian yang sudah pernah menulis cerpen?" tanya pak Kundaru 
"Saya Pak" jawab Asti
"Ya, bagus kalau begitu apa unsur unsur cerpen itu?"
"Kalau setahu saya, unsur unsur cerpen itu ada unsur intrinsik dan ektrinsik Pak?"

Selanjutnya pak Kundaru menjelaskan unsur unsur yang harus ada dalam cerpen. Pak Kundaru menjelaskan panjang lebar, selanjutnya diakhir pelajaran pak Kundaru menugaskan siswa menulis cerpen. 
"Waduhh bagaimana ya? aku kan tidak bisa menulis cerpen" pikirku

Sampai di rumah, aku makin bingung dan cemas. Mau menulis cerpen apa, tentang apa dan aku harus mulai dari mana? Bagaimana cara memulainya? Bagaimana pula kalimat kalimatnya? Itu semua menjadi pertanyaan yang berkecambuk di pikiranku, padahal hari Senin harus sudah dikumpulkan. Waduhhh... Terus aku harus bagaimana? Harus! Aku harus memulai menulis. Yaa, mulai menulis semampuku walaupun tidak bagus.

Kucari cari temanya, masalahnya, siapa tokohnya bagaimana klimaksnya dan tokoh mana yang akan menyelesaikan klimaks.
"emmmmmm... Ini kan masalah. Aku tidak bisa menulis cerpen. Ini masalah bagiku, ahh ini saja yang kujadikan topik cerpen bagiku"

Aku tersenyum, aku merasa mulai bisa menemukan ide cerita. Lalu aku minta menulis kalimat demi kalimat. Kurangkai kalimat kalimat itu, akhirnya jadilah cerpenku yang sederhana ini.

Alhamdulillah jadilah cerpenku. Siap dikumpulkan esok pagi kepada Bapak Kundaro Wahyono.
Share:

Jumat, 29 November 2013

Goresan Kalbu

Hening sunyi dingin. itulah yang sedang aku rasakan di bawah sinar rembulan yang melambai. Jam berdetak sudah menandakan pukul 00.00 WIB. Entah kenapa mata ini tidak ingin menutup, aku tak ingin menjalani esok hari yang sudah bisa aku bayangkan.
Bulat sinar rembulan membawaku kembali dalam kejadian tadi sore. kejadian yang sangat tak ingin aku dengar dari mulut ibuku tersayang. Kata kata kasarnya yang ia lontarkan pada ayahku sangat menggores kalbu. Mereka berdua bertengkar habis habisan, aku sangat takut. Aku tak pernah mengalami ini sebelumnya, maklum saja setiap hari ayah dan ibuku selalu harmonis, bahkan mereka tak enggan menunjukan besar cinta mereka kepada aku dan adikku. Sangat indah memang, tapi semua keindahan hanya tinggal kenangan. itu semua karena hutang bibiku. 500 juta! sungguh sebuah angka yang mengejutkan. "Mengambil uang tabungan pendidikan anak kita?" ucap ibuku "Mau bagaimana lagi? Jika menjual tanah dan sawah yang kita miliki pun tak akan cukup" jawab ayahku "Tidak! pokoknya tidak, aku melarangmu mengambil tabungan kita, jika kau teta[ memaksa maka ceraikan saja aku! kata ibuku. Kata kata kata itulah yang sampai sekarang ini masih terngiang ngiang olehku. Kata kata itu terus saja memutari otakku kemudian menembuskan luka di hati. Sakit sekali.
Pagi ini, bukan pagi yang kunanti. Seakan akan aku bisa melihat kejadian yang akan terjadi padaku hari nanti. Aku tak mau menjalaninya! ketakutanku menjadi nyata, ketika aku hendak berangkat sekolah ayah dan ibuku sedang berperang mulut. Aku mendekati mereka untuk berpamitan saja raanya berat. Aku takut kata kata itu masuk melalui teluinga dan menyayat kalbu. Aku takut bahkan sangat takut! Di sekolah aku sangat tak berkonsentrasi, dari bel masuk sampai bel pulang semua kata kata guruku tak ada satupun yang masuk. Otak dan pikiranku berada di rumah memikirkan apa yang akan terjadi . Aku pulang ke rumah, di rumah kudapati adikku sedang menangis di kamarnya. "Kamu kenapa dek?" Tanyaku memberi sedikit perhatian padanya, tak ada jawaban. Isak tangis adiku semakin kencang. tiba tiba ia bangun dan memeluk tubuhku sangat erat aku sampai bisa merasakan keras debar jantungnya. Walau pertanyaanku tak di jawab, aku bisa mengartikan binar matanya, gerak gerik hitam bulat matanya seakan mengatakan padaku apa yang telah dilihatnya. Pertikaian lagi pertikaian lagi, kasian adikku karena harus menerima semua ini pasti psikologinya menjadi turun. Aku memutuskan untuk menutup pintu kamar dan menghibur adiku. Aku mengajaknya bermain monopoli dan ular tangga. Lumayanlah jika dia bisa tersenyum, aku menjadi merasa sedikit berguna ditengah peperangan ini. Waktu terus berlalu, adiku nampak telah melupakan kejadian yang barusan dialaminya. Aku bisa memahaminya, apalagi umurnya kini baru 6 tahaun pasti sangat sulit untuk beradaptasi dengan keadaan tegang memanas seperti ini. kasihan dia, aku yang sudah 14 tahun hidup di dunia saja masih belum bisa menahan tangis dan mengobati lukaku sendiri.
Malam ini ditengah turunya hujan yang dinginya menembus kulit dan mematahkan tulang, kudengar suara mobil ayah berhenti di garasi. Pintu yang dikunci kemudian dibuka oleh ibuku, adikku yang berada disampingku langsung aku suruh tidur agar ia tidak mendengar perkataan orangtuaku yang mungkin tambah menyayat hatinya. Lebih baik aku saja yang dengar, aku mungkin bisa lebih kuat.
Di balik pintu kayu kamarku, aku sedikit menangkap perkataan mereka. "Sawah kita hanya laku 140 juta. Kebun di desa sebelah laku 175 juta. Totalnya hanya 315.000.000,- bu. Aku sudah tak sanggup mencari uang kemana lagi." ucap ayahku "Sudah! Tidak usah di urusi! Adikmu kan yang menyebabkan semua ini, kenapa harus kau yang bertanggung jawab?" ucap ibuku ketus, nampak raut wajah kesal dari ayahku. "Aku kan hanya membantu buu.." jawab ayahku tetap sabar "Sudahlah terserah!" jawab ibuku yang kemudian meninggalkan ayahku.
Sang mentari telah menampakan diri, tibalah saatnya aku mandi dan mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolah tercinta melepas penat bersama sahabat sahabatku. Mereka memang palng pintar memang menghias wajahkudengan senyuman. Tapi waktu berlalu sangat cepat, bel berbunyi dan aku harus segera pulang ke rumah. Jika tidak, ibuku pasti mencemaskanku. Aku bersyukur, karena ditengah peperangan Maha dahsyat ini, aku masih diperdulikan.
Sesampainya di rumah, ku lihat pintu gerbang terbuka lebar. Ini aneh, tidak seperti biasanya. Kakiku bergerak makin cepat saat akan masuk ke rumah ku lihat segerombal orang mengangkat eyangku. "Eyang?" ucapku penuh tanya "Ibu Ibu apa yang terjadi dengan eyang?" tanyaku pada ibu yang mengikuti segerombol orang tadi "Nanti ibu jelaskan, sekarang kau ganti baju dulu kita akan bergegas ke rumah sakit." Eyangku diantar ke rumah sakit dan dipesankan kamar seadanya karena kondisi keuangankeluarga kami sangat tidak memungkinkan untuk menyewa kamar VIP atau paviliun. Setelah semua sudah terkondisikan, barang barang tertata rapi, orang orang juga sudah mulai pulang, ibuku mendekatiku yang sedang asik menarik timeline twitter dari ponsel androidku.
"Nak" ucap ibuku seakan memulai perbincangan serius dan mendebarkan.
"Hah? Iya iya buu.." jawabku kaget. Ibuku tiba tiba menggenggam tanganku erat sekali
"Nak, ayahmu tak sanggup melunasi hutang bibimu. Kini rumah bibi yang dibangun oleh almarhum eyang kakung disita bank. Ibu sangat kecewa dengan perbuatan bibimu nak, dia sangat senang menghambur hamburkan uang warisan dari eyang kakung. Ingat Nak! kau tidak boleh seperti itu, karena uangmu sendiri akan menjadi monster bagimu. Dia bisa saja menghancurkanmu" ucap ibu menasihatiku, "Iya ibu titis paham" jawabku. "Jika kau lupa kata kata ibu, kau bisa saja melukai orang kesayanganmu, lihat saja nenekmu, dia terkejut bukan main, kasian dia penyakit jantungnya kambuh" ucap ibuku "Astaghfirullah.. iya ibu titis janji akan mengingat semua perkataan ibu dengan baik" jawabku penuh keyakinan sambil mencium pipi ibuku tersayang.
Setelah mendengar semua penjelasan ibu, aku langsung bergegas memasuki ruangan melati III. Ruang dimana eyang uti atau nenekku sedang terbaring lemas dengan untaian kabel panjeng menggantung dan menembus pergelangan tanganya. Hidungnya dimasuki kabel berisi alirang oksigen, eyang nampak rapuh, ubanya semakin meluas, daging di tubuhnya kini tak tersisa, mungkin eyang sangat tertekan. Kasian dia, disamping eyang ku lihat bibi sedang melantunkan ayat suci Al-quran, kutunggu ia sampai selesai baru aku masuk, lantunan ayat dari bibiku sangatlah indah, sangat menyejukan hati, kuyakin eyang pasti senang mendengarnya. Bibi berhenti, dia sudah selesai baru aku masuk kamar. Ketika memasuki kamar berbau obat ini, mataku langsung tertuju pada monitor detak jantung eyangku "titttttt....." suara bising yang sangat menusuk, sangat membuatku terkejut! tidak ada detak jantung disitu, tiada tanda tanda kehidupan. Aku sontak lansung keluar memanggil orang orang "Ayah..Ibuu.. Dokter.. Suster cepat kemari! cepat cepat cepat ! Aku berteriak tidak karuan, teriakanku di bawah kendali. Sesaat setelah teriakanku yang menggelegar itu, datanglah banyak orang. "Innanilahiwainaillahirojiun" ucap dokter "Hah? Apa? tidak tidak! Ibu.. Ibu bangun ibu" ayah dan ibuku kemudian memeluk jenazah eyang yang kini mulai dingin membiru. "Eyang?" Aku hanya tersungkur, tubuhku lemas serasa nyawaku pun diambil oleh sang Maha Kuasa. "Dasar kau anak durhaka!" ucap ayah pada bibiku "Memang.. pergi kau! Lihat apa yang telah kau perbuat" ucap ibuku "Ayah Ibu sudah sudah" Aku langsung menuntun bibi keluar ruangan, tak tega rasanya. "Bibi sudahlah.." ucapku menenangkan bibi yang terus saja sesenggukan beraliran air mata. Bibi menjawab "Aku pun tak menginginkan keadaan seperti ini. Aku serba salah" Aku makin tak tega melihat air mata yang terus saja mengalir melewati pipi bibiku. Sedikit demi sedikit kuusap air peluhnya, aku bawa ia untuk beristirahat di kamar. Aku tau pasti lahir dan batinya pun lemah terkuras dengan keadaanya sekarang ini.
Pagi ini dibawah awan putih yang berarak mengikuti, aku menuntun jenazah eyang uti keliang lahat dengan iringan sholawat. Ku lihat sekeliling penuh manusia berbaju hitam lebam ikut mengiringi jenazah eyangku, semoga disana eyang ada di sisimu. Terimalah eyang utiku, dia orang yang baik dan pemurah hati, ki harap kau menempatkanya pada surgamu yang paling tinggi ya Allah Aminn..
Seusai pemakaman, nampak ibuku masih saja menatap bibi penh kebencian. Di sinar matanya masih saja tersudutkan amarah, dendam dan benci. Namun, ayahku dengan penuh bijaksananya menenangkan hati ibuku "Ibu sudahlah, ini sudah menjadi jalanya" ucap ayahku. "Ini ku berikan rumah di Desa Kecepit. Hanya ini hartaku yang dapat membantumu" ucap ayahku, kemudian bibi bersujud di kaki ayah dengan air mata yang terus saja bercucuran. "Allahuakbar.. terimakasih banyak mas. Aku berhutang budi padamu" jawab bibi di telapak kaki ayahku "Iya iya sekarang bawalah keluargamu kesana, dirikanlah kehidupan baru penuh harmoni. Jadilah keluarga sakinah mawadah warohmah" jawab ayahku sambil meletakan amplop ditangan bibi "Bawalah.. ini untuk mendirikan usaha barumu disana. Bangkitlah!"
Aku sangat senang dengan pemandangan ini. Sangatlah indah dan langka. Aku mengantar bibi mengemasi barang ke siklun. Aku lambaikan tangan tanda perpisahan, aku ingin mendatangi rumah baru bibi esok sepulang sekolah.
Hari ini sepulang sekolah , aku pergi ke Desa Kecepit. Jalanya sangat tidak enak, berlubang, berair, banyak hutan hutan. Seram. Tapi harus ku lalui demi bibiku.
"Bibi....." teriakku sesampainya di depan rumah baru bibiku, sangat sederhana. Rumah ini hanya berisi satu ruang tamu yang digabung dengan ruang keluarga, 2 kamar, 1 dapur dan tidak terdapat kamar mandi. Jai bibi harus ke sungai yang letaknya cukup jauh dari rumah, kondisi ini sangatlah berbanding terbalik dengan kondisi bibi dahulu.
"Tiss.. Bibi akan mendirikan usaha warteg di tengah sawah sana, usaha ini dilakukanku untuk berterimakasih pada ayah dan ibumu" ucap bibi
"Iya bi.. wah itu bagus! Bibi sudah mulai bisa bangkit, aku senang" ucapku.
"Iyak terimakasih nak.. Bibi janji, 10 tahun ke depan bibi akan kembali berjaya dan sebelum itu bibi akan membantu orangtuamu menyekolahkanmu di Melbourne. Itu kan keinginanmu?" tanya bibiku "Benarkah bi? Bibi janji yaa.. Akan aku tunggu janji bibi"

                                                                                   ***

"Pratitis Nandiasoka.. Congratulation! You be the best student. Please step forward" ucapan dosenku sangat bergema, mengalun indah penuh makna. Aku melangkah ke panggung dengan sangat bangga. Aku masih belum percaya, aku liat sekitarku nampak ayah, ibu, adik dan bibiku tentunya, mereka semua tersenyum bangga karenaku. Di wajahnya, nampak sangat bahagia. Ini sulit dipercaya, aku berdiri sebagai siswa peroleh angka terbaik tahun ini di Universitas Academic Year Abroud, Melbourne Australia.
Share: