Sabtu, 30 November 2013

Cerpenku

Di lapangan sekolah yang tidak terlalu luas, nampak siswa laki laki bermain bola basket bebarengan dengan siswa lainnya. Di depan kelas, beberapakerumunan siswa berbincang bercanda di kantin. Mereka berebut minta dilayani.

Bel berbunyi tanda istirahat telah usai, anak anak bergegas menuju kelasnya masing masing. Ada yang segera mengakhiri main bola basket, berbincang dan bercanda tawa di teras kelas, bahkan banyak juga anak yang berjejal di kantin sekolah. Masing masing berebut membayar jajan. Semua ingin segera dilayani, khawatir telat masuk kelas. Aku pun demikian, berebut ingin dilayani dulu.

Seusai istirahat, di kelasku IX D jadwal pelajaran Bahasa Indonesia. Pelajaran Bahasa Indonesia merupakan pelajaran yang disukai sisa, selain tidak terlalu sulit, gurunya pun menyenangkan. Guru yang satu ini bila mengajar tidak membosankan, ada ada saja metode yang diterapkan. Mungkin ini cara yang diterapkan agar siswa tidak jenuh, mengingat pelajaran Bahasa Indonesia sudah dipelajari sejak SD. Ini mungkin yang disadari oleh guruku. Ya, agar tidak membosankan. Aku pun merasakan hal yang sama dengan teman teman.

"Siapa diantara kalian yang sudah pernah menulis cerpen?" tanya pak Kundaru 
"Saya Pak" jawab Asti
"Ya, bagus kalau begitu apa unsur unsur cerpen itu?"
"Kalau setahu saya, unsur unsur cerpen itu ada unsur intrinsik dan ektrinsik Pak?"

Selanjutnya pak Kundaru menjelaskan unsur unsur yang harus ada dalam cerpen. Pak Kundaru menjelaskan panjang lebar, selanjutnya diakhir pelajaran pak Kundaru menugaskan siswa menulis cerpen. 
"Waduhh bagaimana ya? aku kan tidak bisa menulis cerpen" pikirku

Sampai di rumah, aku makin bingung dan cemas. Mau menulis cerpen apa, tentang apa dan aku harus mulai dari mana? Bagaimana cara memulainya? Bagaimana pula kalimat kalimatnya? Itu semua menjadi pertanyaan yang berkecambuk di pikiranku, padahal hari Senin harus sudah dikumpulkan. Waduhhh... Terus aku harus bagaimana? Harus! Aku harus memulai menulis. Yaa, mulai menulis semampuku walaupun tidak bagus.

Kucari cari temanya, masalahnya, siapa tokohnya bagaimana klimaksnya dan tokoh mana yang akan menyelesaikan klimaks.
"emmmmmm... Ini kan masalah. Aku tidak bisa menulis cerpen. Ini masalah bagiku, ahh ini saja yang kujadikan topik cerpen bagiku"

Aku tersenyum, aku merasa mulai bisa menemukan ide cerita. Lalu aku minta menulis kalimat demi kalimat. Kurangkai kalimat kalimat itu, akhirnya jadilah cerpenku yang sederhana ini.

Alhamdulillah jadilah cerpenku. Siap dikumpulkan esok pagi kepada Bapak Kundaro Wahyono.
Share:

Jumat, 29 November 2013

Goresan Kalbu

Hening sunyi dingin. itulah yang sedang aku rasakan di bawah sinar rembulan yang melambai. Jam berdetak sudah menandakan pukul 00.00 WIB. Entah kenapa mata ini tidak ingin menutup, aku tak ingin menjalani esok hari yang sudah bisa aku bayangkan.
Bulat sinar rembulan membawaku kembali dalam kejadian tadi sore. kejadian yang sangat tak ingin aku dengar dari mulut ibuku tersayang. Kata kata kasarnya yang ia lontarkan pada ayahku sangat menggores kalbu. Mereka berdua bertengkar habis habisan, aku sangat takut. Aku tak pernah mengalami ini sebelumnya, maklum saja setiap hari ayah dan ibuku selalu harmonis, bahkan mereka tak enggan menunjukan besar cinta mereka kepada aku dan adikku. Sangat indah memang, tapi semua keindahan hanya tinggal kenangan. itu semua karena hutang bibiku. 500 juta! sungguh sebuah angka yang mengejutkan. "Mengambil uang tabungan pendidikan anak kita?" ucap ibuku "Mau bagaimana lagi? Jika menjual tanah dan sawah yang kita miliki pun tak akan cukup" jawab ayahku "Tidak! pokoknya tidak, aku melarangmu mengambil tabungan kita, jika kau teta[ memaksa maka ceraikan saja aku! kata ibuku. Kata kata kata itulah yang sampai sekarang ini masih terngiang ngiang olehku. Kata kata itu terus saja memutari otakku kemudian menembuskan luka di hati. Sakit sekali.
Pagi ini, bukan pagi yang kunanti. Seakan akan aku bisa melihat kejadian yang akan terjadi padaku hari nanti. Aku tak mau menjalaninya! ketakutanku menjadi nyata, ketika aku hendak berangkat sekolah ayah dan ibuku sedang berperang mulut. Aku mendekati mereka untuk berpamitan saja raanya berat. Aku takut kata kata itu masuk melalui teluinga dan menyayat kalbu. Aku takut bahkan sangat takut! Di sekolah aku sangat tak berkonsentrasi, dari bel masuk sampai bel pulang semua kata kata guruku tak ada satupun yang masuk. Otak dan pikiranku berada di rumah memikirkan apa yang akan terjadi . Aku pulang ke rumah, di rumah kudapati adikku sedang menangis di kamarnya. "Kamu kenapa dek?" Tanyaku memberi sedikit perhatian padanya, tak ada jawaban. Isak tangis adiku semakin kencang. tiba tiba ia bangun dan memeluk tubuhku sangat erat aku sampai bisa merasakan keras debar jantungnya. Walau pertanyaanku tak di jawab, aku bisa mengartikan binar matanya, gerak gerik hitam bulat matanya seakan mengatakan padaku apa yang telah dilihatnya. Pertikaian lagi pertikaian lagi, kasian adikku karena harus menerima semua ini pasti psikologinya menjadi turun. Aku memutuskan untuk menutup pintu kamar dan menghibur adiku. Aku mengajaknya bermain monopoli dan ular tangga. Lumayanlah jika dia bisa tersenyum, aku menjadi merasa sedikit berguna ditengah peperangan ini. Waktu terus berlalu, adiku nampak telah melupakan kejadian yang barusan dialaminya. Aku bisa memahaminya, apalagi umurnya kini baru 6 tahaun pasti sangat sulit untuk beradaptasi dengan keadaan tegang memanas seperti ini. kasihan dia, aku yang sudah 14 tahun hidup di dunia saja masih belum bisa menahan tangis dan mengobati lukaku sendiri.
Malam ini ditengah turunya hujan yang dinginya menembus kulit dan mematahkan tulang, kudengar suara mobil ayah berhenti di garasi. Pintu yang dikunci kemudian dibuka oleh ibuku, adikku yang berada disampingku langsung aku suruh tidur agar ia tidak mendengar perkataan orangtuaku yang mungkin tambah menyayat hatinya. Lebih baik aku saja yang dengar, aku mungkin bisa lebih kuat.
Di balik pintu kayu kamarku, aku sedikit menangkap perkataan mereka. "Sawah kita hanya laku 140 juta. Kebun di desa sebelah laku 175 juta. Totalnya hanya 315.000.000,- bu. Aku sudah tak sanggup mencari uang kemana lagi." ucap ayahku "Sudah! Tidak usah di urusi! Adikmu kan yang menyebabkan semua ini, kenapa harus kau yang bertanggung jawab?" ucap ibuku ketus, nampak raut wajah kesal dari ayahku. "Aku kan hanya membantu buu.." jawab ayahku tetap sabar "Sudahlah terserah!" jawab ibuku yang kemudian meninggalkan ayahku.
Sang mentari telah menampakan diri, tibalah saatnya aku mandi dan mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolah tercinta melepas penat bersama sahabat sahabatku. Mereka memang palng pintar memang menghias wajahkudengan senyuman. Tapi waktu berlalu sangat cepat, bel berbunyi dan aku harus segera pulang ke rumah. Jika tidak, ibuku pasti mencemaskanku. Aku bersyukur, karena ditengah peperangan Maha dahsyat ini, aku masih diperdulikan.
Sesampainya di rumah, ku lihat pintu gerbang terbuka lebar. Ini aneh, tidak seperti biasanya. Kakiku bergerak makin cepat saat akan masuk ke rumah ku lihat segerombal orang mengangkat eyangku. "Eyang?" ucapku penuh tanya "Ibu Ibu apa yang terjadi dengan eyang?" tanyaku pada ibu yang mengikuti segerombol orang tadi "Nanti ibu jelaskan, sekarang kau ganti baju dulu kita akan bergegas ke rumah sakit." Eyangku diantar ke rumah sakit dan dipesankan kamar seadanya karena kondisi keuangankeluarga kami sangat tidak memungkinkan untuk menyewa kamar VIP atau paviliun. Setelah semua sudah terkondisikan, barang barang tertata rapi, orang orang juga sudah mulai pulang, ibuku mendekatiku yang sedang asik menarik timeline twitter dari ponsel androidku.
"Nak" ucap ibuku seakan memulai perbincangan serius dan mendebarkan.
"Hah? Iya iya buu.." jawabku kaget. Ibuku tiba tiba menggenggam tanganku erat sekali
"Nak, ayahmu tak sanggup melunasi hutang bibimu. Kini rumah bibi yang dibangun oleh almarhum eyang kakung disita bank. Ibu sangat kecewa dengan perbuatan bibimu nak, dia sangat senang menghambur hamburkan uang warisan dari eyang kakung. Ingat Nak! kau tidak boleh seperti itu, karena uangmu sendiri akan menjadi monster bagimu. Dia bisa saja menghancurkanmu" ucap ibu menasihatiku, "Iya ibu titis paham" jawabku. "Jika kau lupa kata kata ibu, kau bisa saja melukai orang kesayanganmu, lihat saja nenekmu, dia terkejut bukan main, kasian dia penyakit jantungnya kambuh" ucap ibuku "Astaghfirullah.. iya ibu titis janji akan mengingat semua perkataan ibu dengan baik" jawabku penuh keyakinan sambil mencium pipi ibuku tersayang.
Setelah mendengar semua penjelasan ibu, aku langsung bergegas memasuki ruangan melati III. Ruang dimana eyang uti atau nenekku sedang terbaring lemas dengan untaian kabel panjeng menggantung dan menembus pergelangan tanganya. Hidungnya dimasuki kabel berisi alirang oksigen, eyang nampak rapuh, ubanya semakin meluas, daging di tubuhnya kini tak tersisa, mungkin eyang sangat tertekan. Kasian dia, disamping eyang ku lihat bibi sedang melantunkan ayat suci Al-quran, kutunggu ia sampai selesai baru aku masuk, lantunan ayat dari bibiku sangatlah indah, sangat menyejukan hati, kuyakin eyang pasti senang mendengarnya. Bibi berhenti, dia sudah selesai baru aku masuk kamar. Ketika memasuki kamar berbau obat ini, mataku langsung tertuju pada monitor detak jantung eyangku "titttttt....." suara bising yang sangat menusuk, sangat membuatku terkejut! tidak ada detak jantung disitu, tiada tanda tanda kehidupan. Aku sontak lansung keluar memanggil orang orang "Ayah..Ibuu.. Dokter.. Suster cepat kemari! cepat cepat cepat ! Aku berteriak tidak karuan, teriakanku di bawah kendali. Sesaat setelah teriakanku yang menggelegar itu, datanglah banyak orang. "Innanilahiwainaillahirojiun" ucap dokter "Hah? Apa? tidak tidak! Ibu.. Ibu bangun ibu" ayah dan ibuku kemudian memeluk jenazah eyang yang kini mulai dingin membiru. "Eyang?" Aku hanya tersungkur, tubuhku lemas serasa nyawaku pun diambil oleh sang Maha Kuasa. "Dasar kau anak durhaka!" ucap ayah pada bibiku "Memang.. pergi kau! Lihat apa yang telah kau perbuat" ucap ibuku "Ayah Ibu sudah sudah" Aku langsung menuntun bibi keluar ruangan, tak tega rasanya. "Bibi sudahlah.." ucapku menenangkan bibi yang terus saja sesenggukan beraliran air mata. Bibi menjawab "Aku pun tak menginginkan keadaan seperti ini. Aku serba salah" Aku makin tak tega melihat air mata yang terus saja mengalir melewati pipi bibiku. Sedikit demi sedikit kuusap air peluhnya, aku bawa ia untuk beristirahat di kamar. Aku tau pasti lahir dan batinya pun lemah terkuras dengan keadaanya sekarang ini.
Pagi ini dibawah awan putih yang berarak mengikuti, aku menuntun jenazah eyang uti keliang lahat dengan iringan sholawat. Ku lihat sekeliling penuh manusia berbaju hitam lebam ikut mengiringi jenazah eyangku, semoga disana eyang ada di sisimu. Terimalah eyang utiku, dia orang yang baik dan pemurah hati, ki harap kau menempatkanya pada surgamu yang paling tinggi ya Allah Aminn..
Seusai pemakaman, nampak ibuku masih saja menatap bibi penh kebencian. Di sinar matanya masih saja tersudutkan amarah, dendam dan benci. Namun, ayahku dengan penuh bijaksananya menenangkan hati ibuku "Ibu sudahlah, ini sudah menjadi jalanya" ucap ayahku. "Ini ku berikan rumah di Desa Kecepit. Hanya ini hartaku yang dapat membantumu" ucap ayahku, kemudian bibi bersujud di kaki ayah dengan air mata yang terus saja bercucuran. "Allahuakbar.. terimakasih banyak mas. Aku berhutang budi padamu" jawab bibi di telapak kaki ayahku "Iya iya sekarang bawalah keluargamu kesana, dirikanlah kehidupan baru penuh harmoni. Jadilah keluarga sakinah mawadah warohmah" jawab ayahku sambil meletakan amplop ditangan bibi "Bawalah.. ini untuk mendirikan usaha barumu disana. Bangkitlah!"
Aku sangat senang dengan pemandangan ini. Sangatlah indah dan langka. Aku mengantar bibi mengemasi barang ke siklun. Aku lambaikan tangan tanda perpisahan, aku ingin mendatangi rumah baru bibi esok sepulang sekolah.
Hari ini sepulang sekolah , aku pergi ke Desa Kecepit. Jalanya sangat tidak enak, berlubang, berair, banyak hutan hutan. Seram. Tapi harus ku lalui demi bibiku.
"Bibi....." teriakku sesampainya di depan rumah baru bibiku, sangat sederhana. Rumah ini hanya berisi satu ruang tamu yang digabung dengan ruang keluarga, 2 kamar, 1 dapur dan tidak terdapat kamar mandi. Jai bibi harus ke sungai yang letaknya cukup jauh dari rumah, kondisi ini sangatlah berbanding terbalik dengan kondisi bibi dahulu.
"Tiss.. Bibi akan mendirikan usaha warteg di tengah sawah sana, usaha ini dilakukanku untuk berterimakasih pada ayah dan ibumu" ucap bibi
"Iya bi.. wah itu bagus! Bibi sudah mulai bisa bangkit, aku senang" ucapku.
"Iyak terimakasih nak.. Bibi janji, 10 tahun ke depan bibi akan kembali berjaya dan sebelum itu bibi akan membantu orangtuamu menyekolahkanmu di Melbourne. Itu kan keinginanmu?" tanya bibiku "Benarkah bi? Bibi janji yaa.. Akan aku tunggu janji bibi"

                                                                                   ***

"Pratitis Nandiasoka.. Congratulation! You be the best student. Please step forward" ucapan dosenku sangat bergema, mengalun indah penuh makna. Aku melangkah ke panggung dengan sangat bangga. Aku masih belum percaya, aku liat sekitarku nampak ayah, ibu, adik dan bibiku tentunya, mereka semua tersenyum bangga karenaku. Di wajahnya, nampak sangat bahagia. Ini sulit dipercaya, aku berdiri sebagai siswa peroleh angka terbaik tahun ini di Universitas Academic Year Abroud, Melbourne Australia.
Share:

Minggu, 23 Juni 2013

Jepin Prebysterian


Kokok ayam jantan bersahutan membangunkan tidur seorang remaja 13 tahun yang tak lain adalah anak seorang  mantan penari Jepin kondang dari Desa Pasurenan Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara. Saat membuka jendela kamar nampak sang mentari pagi  menyapa seakan memberikan kehangatan bagai selimut domba, sementara ayahnya yang sudah memulai harinya dengan memikul segelendong kayu bakar dari hutan memanggil anak lelakinya “Naaak kemari cepat, bantu ayah untuk menghidupkan api di pawon” panggil Pak Karto yang tak lain adalah ayah dari Jaka. “Baik Pak” sahut Jaka yang sangat menghormati sosok ayahnya itu. Api dari pawon mulai bergejolak saat Jaka mulai membolak balik kayu bakarnya, air panas dalam panci yang berada di  atas pawon segera ia angkat ketika airnya mulai bergemuruh. Air dalam panci itu ia tuangkan dalam cangkir yang berisi purwaceng dan gula, terlihat asap di atas cangkir mungil yang akan disajikan kepada ayahnya itu. “Silakan diminum Yah” Ucap Jaka sambil menyajikan secangkir purwaceng. “Terimakasih Nak” sahut ayahnya, “Yah, bolehkah aku bertanya sesuatu?” Tanya Jaka. “Boleh saja, mau bertanya apa kau, Nak?” jawab ayahnya sehabis menyeduh secangkir purwaceng itu. “Apakah dulu ayah seorang penari Jepin? Bisakah sekarang ayah ajarkan kepadaku, bagaimanakah tarian Jepin itu” Ucap Jaka yang kemarin baru saja membuka lemari ayahnya dan menemukan beberapa peralatan Tari Jepin, “Sudahlah lupakan, tarian Jepin itu tidak penting Nak. Yang penting kau sekarang menuntut ilmu setinggi-tingginya” Jawab Pak Karto dan kemudian meninggalkan anaknya itu. “Kenapa ayah tidak mau mengajariku tarian Jepin?” ucap Jaka dalam hatinya. Ia merasa bahwa dirinya harus mulai belajar tarian Jepin itu sendiri.
            Senja hari yang mulai redup itu, nampak Ayah Jaka sedang melamun di depan teras, ia sedang memikirkan perkataan Jaka tadi tentang tari Jepin. Pak Karto sebenarnya sudah memendam alasan pribadinya untuk melarang Jaka menari Jepin karena Pak Karto dulunya seorang penari Jepin, tapi uang yang dihasilkan saat menari Jepin itu tidak cukup untuk menghidupi keluarganya, maka dari itu istri Pak Jaka yang tak lain adalah ibu Jaka memilih untuk meninggalkan Pak Karto “Jadi alasanku melarang Jaka menari Jepin Karena tari Jepin tidak akan menjamin kesejahteraan pada hidup anakku kelak, semoga kau dapat memahami, Nak” ucap Pak Karto dalam hatinya.
Jaka ingin mencari tahu tentang tarian Jepin, caranya dengan membuka kembali lemari ayahnya. Saat ayahnya pergi ke masjid untuk menunaikan solat Maghrib, Jaka mendahului pulang dan segera memasuki kamar ayahnya untuk membuka lemari yang penuh berisi peralatan tari Jepin. Nampak baju bercorak kotak-kotak hitam dan putih, adapula yang berwarna merah dan celana yang ditekuk selutut ditata rapi, tapi semua baju koleksi ayahnya itu kini telah berdebu, saat bajunya dipegang, jatuh selembar foto Pak Karto bersama teman laki-lakinya mengenakan baju Jepin, saat foto itu dia balik terlihat tulisan Karto dan Subarjo di Sumberejo “Mungkin aku bisa mengerti Tarian Jepin dari teman ayah yang bernama Subarjo ini, berarti esok hari aku harus bangun pagi dan bergegas ke Desa Sumberojo”    
            Fajar yang belum nampak, dan suara kokok ayam pun belum terdengar. Inilah saat bagi Jaka untuk pergi ke Desa Sumberejo. Perjalanan dari Desa Pasurenan menuju Desa Sumberejo yang lumayan jauh tetap ia tempuh walaupun dinginnya subuh terus menerus masuk melalui pori-pori kulitnya. Perjalanan Jaka ditempuh dengan melewati berbagai wisata alam di kecamatan seperti Kawah Candradimuka, sebuah kawah yang konon menurut cerita pewayangan, Kawah Candradimuka adalah tempat di mana Gatotkaca diceburkan oleh Batara Narada (utusan Kayangan) untuk ditempa hingga menjadi sakti.
Kaki bocah ini terus berlari hingga akhirnya sampai juga ia di Desa Sumberejo. Nampak seorang tua yang memikul belerang kuning “Pak, nyuwun sewu badhe nderek pirso dalemipun Pak Subarjo” Tanya jaka menggunakan bahasa daerahnya kepada lelaki tua yang memikul belerang tadi. “Wonten mriko Dek, sing daleme wonten ing pojokan” Jawab lelaki tua pemikul belerang “Oh injih turnuwun Pak” Balas Jaka yang kemudian berjalan searah dengan arahan yang ditujukan pemikul belerang tadi. Setelah lama berjalan nampak sebuah rumah yang ciri-cirinya sama seperti yang disebutkan oleh pemikul belerang kuning tadi.
            Wajah lesu setelah lama mencari rumah Pak Karto kini berubah menjadi wajah berseri karena  sebentar lagi ia akan bisa mulai mempelajari Tari Jepin. Suara ketukan tangan Jaka di pintu kayu jati milik Pak Subarjo terdengar jelas oleh sang pemilik rumah, Setelah kiranya dua kali mengetuk pintu nampak seorang lelaki tua yang rambutnya sudah mulai putih “Pagi Paaak” ucap Jaka saat pintu kayu dibukakan oleh Pak Subarjo. “Iya pagi, ada apa Nak? Sepagi ini Engkau sudah datang ke rumahku” Tanya Pak Subarjo, “Saya Jaka anak dari Pak Karto” kata Jaka sambil menunjukan foto Ayahnya  bersama Pak Subarjo yang ditemukannya tadi saat membuka lemari baju ayahnya. “Kau anak Karto temanku? Duh Gusti, kau sudah besar sekali, Nak. “Dulu aku terakhir bertemu denganmu saat kau masih bayi, Nak.” ucap Pak Subarjo sambil mengusap kepala Jaka. “Kedatangan saya ke sini untuk meminta bantuan Bapak agar mengajarkan tari Jepin, ayah saya sangat melarang saya mengenal tari Jepin, saat saya bertanya saja ayah malah pergi dan mengatakan Jepin itu tidak penting” jelas Jaka. Mendengar cerita Jaka tentang sikap ayahnya kini, Pak Subarjo juga bingung sendiri kenapa Karto teman seperjuanganya menjadi seperti itu. “Jakaa masuk dulu sini, Nak” ajak Pak Subarjo, Jaka dengan wajah sumringahnya kemudian masuk ke kediaman Pak Subarjo.
            Pak Subarjo yang juga bingung dengan temannya, ingin sekali membantu Jaka anak temannya untuk mewariskan budaya daerahnya. “Begini Nak, Tari Jepin itu berkembang dari Desa Pasurenan Dusun Wiroyoso pada masa penjajahan Jepang, gerakan yang digunakan gerak dasar silat sebagai olah kanuragan rakyat Indonesia untuk dijadikan prajurit Jepang dengan iringan musik, rebana, bedug sebagai daya tarik penampilan. Ayahmu melarangmu untuk menari Jepin, Bapak yakin dia pasti punya alasan tersendiri“ Ucap Pak Subarjo. Mendengar ucapan Pak Subarjo mengenai ayahnya, Jaka menjadi semakin bingung. Tapi yang terpenting bagi Jaka sekarang adalah ia harus bisa menari Jepin. Pak Subarjo dengan penuh kesabaran mengajarkan gerakan demi gerakan mulai dari gerakan suru/jurus yang diiringi bunyi rebana dan bedug dengan nada satu-satu yang ditabuh dalam tempo cepat sampai empat macam nomer gerakan suru/jurus . Saat senja datang, Jaka merasa latihan hari ini cukup melelahkan dan akhirnya mereka memutuskan untuk melanjutkan esok pagi. “Nak, kau memang menuruni bakat ayahmu. Tiga bulan yang akan datang Pemerintah Kabupaten Banjarnegara akan menyelenggarakan Dieng Culture Festival. Apa kau bersedia untuk menari Jepin Nak?” mendengar penawaran Pak Subarjo, Jaka langsung menerimanya “Benarkah aku boleh mengikuti festival itu?” Jawab Jaka kaget, “Tentu Jaka, kembalilah besok dan kita akan berlatih lebih keras”
            Dengan langkah kaki yang semangat karena sudah mulai bisa menari Jepin, Jaka pulang ke rumahnya dengan senyum gembira sambil mengulangi berbagai gerakan yang telah diajarkan Pak Subarjo. Gunung gunung berbaris laksana bukit barisan, mega-mega putih berarak layaknya kapas sutera, semilir angin yang berhembus perlahan seakan menjadi saksi kebahagiaan anak ini. Sesampainya di rumah, ia takut ayahnya sudah sampai duluan “Jangan-jangan ayah sudah pulang, aduh bagaimana ini” Saat dia melongok ke dalam rumahnya, tak nampak sosok ayahnya. Sandal ayahnya pun belum ada di depan rumah “Haah aman” tutur Jaka. Karena laparnya, saat masuk rumah ia langsung menuju dapur dan mengambil beberapa makanan khas dari Dieng seperti Jipang ketan dan Manisan Carica. Kedua makanan kesukaan Jaka ini langsung ia lahap dan dalam beberapa menit, makanan ini telah memenuhi perutnya. Tak lama setelah Jaka membereskan bungkus makananya, Ayahnya pulang membawa seikat tanaman Purwaceng dan Kentang Dieng untuk dimasak “Nak, ini ayah bawakan makanan” ucap Ayah Jaka saat memasuki rumahnya.
            Pagi yang cerah menyambut Jaka yang baru terbangun dari mimpi “Ini saatnya ke rumah Pak Subarjo dan berlatih Jepin.” Seperti biasanya, udara subuh yang dingin menusuk, tak pernah memudarkan semangat Jaka. Pagi ini ia berencana untuk mampir ke sebuah danau hijau lumut yang bernama Sumur Jalatunda. Dulu, para pengunjung yang mendatangi sumur ini sudah pasti akan melakukan ritual melempar koin kuning, apabila koin bisa melewati Sumur Jalatunda, maka apa yang menjadi cita-cita atau hajatnya akan terkabul. Namun sejak tahun 1990, Pemerintah Kabupaten Banjarnegara melarang melempar koin dengan alasan yang tidak jelas, dan diganti dengan kerikil yang jumlahnya tiga buah. Tiga buah kerikil ini melambangkan Antasena, Antareja dan Antaboga. Saat sedang memandang ke tanah, Jaka melihat tiga buah kerikil dan ingin mencoba melemparkanya. “Huupp!” Anehnya, tiga buah kerikil itu berhasil melawati Sumur Jalatunda. “Haah aku berhasil! Tapi apa iya yang dikatakan warga desa itu benar?” ucap Jaka dalam hatinya yang masih belum percaya sepenuhnya akan mitos tentang Sumur Jalatunda.
            Sampai di rumah Pak Subarjo, Jaka kembali dilatih memeragakan beberapa gerakan tarian Jepin. Pak Subarjo yang melihat keelokan gerak tubuh Jaka merasa ada kemiripan dengan Ayahnya, Karto. Mulai dari gerakan tangan, kaki, cara dia memeragakan suru dan segala yang ada dalam diri Jaka. Dalam hati kecil Pak Subarjo merasa bahwa Jaka akan menjadi penari Jepin hebat. Hari demi hari berlalu, membuat bocah 13 tahun ini semakin pandai dan elok dalam menarikan gerakan Jepin yang totalnya ada dua puluh tiga gerakan, Hari berlalu dan tak terasa pelaksanaan Dieng Culture Festival yang akan diselenggarakan di Kecamatan Dieng semakin dekat, dan kabaranya Festival ini juga akan mendatangkan para wartawan dari beberapa negara seperti Amerika. “Jaka, apakah kau sudah siap dengan festival besok?” Tanya Pak Subarjo, “Tentu Pak, saya sangat siap” jawab Jaka dengan percaya diri tinggi. “Baiklah sekarang kau pulanglah dulu ke rumah dan jaga staminamu untuk esok pagi”
            Saat matahari tenggelam dan hari sudah mulai malam, ayah Jaka pulang membawakan Salak pondoh, Dawet Ayu dan Buntil, makanan khas dari daerah Banjarnegara “Nak, tadi ayah diberi makanan enak ini oleh Ibu Suti tetangga kita. Ayo dicoba dulu nak” ucap Pak Karto yang nampak sangat sayang dengan anaknya. Melihat kasih sayang yang ditunjukan ayahnya, Jaka merasa bersalah karena berlatih dan mempelajari Jepin secara diam-diam. “Nak ayo dimakan, kasihan kan makanannya bila tidak termakan” kata Ayah Jaka, “Emm iya baik Pak” jawab Jaka yang baru sadar dari lamunannya. Sambil memakan makanan hangat ini, Jaka berpikir bagaimana caranya agar esok dia bisa pulang tepat waktu, karena diperkirakan acara festival itu sampai sore hari.
            Pagi yang diawali datangnya mentari cerah menari di atas sana, nampak  Jaka sedang berdandan mengenakan kostum Jepin yang merupakan kostum para prajurit Indonesia saat melawan Jepang. Tarian Jepin ini menunjukan rasa nasionalisme dan perjuangan para prajurit kita saat melawan penjajah Jepang. “Jaka apakah kau sudah siap? Jika sudah cepatlah ke sini Nak kau akan segera tampil” Tanya Pak Subarjo dari kejuhan, “Iya Pak, Jaka akan segera ke situ” Jawab Jaka.
Tampak Bupati Banjarnegara, Bapak Sutedjo mengenakan baju Batik bermotif Mega Mendung Dieng, akan segera memukul gong tanda dimulainya Dieng Culture Festival. Festival ini dibuka dengan arak-arakan  anak  berambut   Gimbal menggunakan kereta kuda  ke sekeliling Desa Dieng, Upacara pemotongan Rambut Gimbal, serta pelarungan potongan rambut  Gimbal ke Telaga. Setelah selesai acara Pembukaan, acara kembali dimeriahkan oleh rangkaian pentas seni yang dibawakan oleh seniman Lokal seperti Tari Lengger, Tek-tek (Gelaran Musik tradisional dari Bambu), Kesenian Rampak Yaksa dan Ebeg. Kesenian Jepin ditampilkan sebagai penutup untuk festival kali ini, karena Jepin dinilai paling mengesankan. Tiba saatnya Jaka dan temannya yang juga penari Jepin menghibur para tamu yang hadir dalam festival kali ini. Iringan musik yang dinamis serta gerakan tari Jepin yang gagah laksana prajurit perang yang siap melawan Jepang memukau banyak penonton, terutama para wartawan dari Amerika.
            Seusai festival, nampak sosok Pak Karto penuh amarah menghampiri dan menampar pipi kanan putranya “Jakaaa! Apa yang kau lakukan di sini Nak? Cepat pulang sekarang” bentak Pak Karto sambil menarik tangan kanan Jaka. Dengan rasa kesal di hati, Jaka menuruti segala permintaan ayahnya. Langit gelap dan awan hitam menyelimuti Dieng kini seakan menjadi pertanda konflik antara ayah dan anak. “Sekarang kau masuklah ke kamar! Renungg.. ” belum selesai ucap Pak Karto tadi, terlihat Pak Karto memegang dadanya karena sesak. “Ayaaaah apa yang terjadi padamu, Yah?” Ucap Jaka sambil menangis kebingungan. Dengan sekuat tenaga, ia mengantarkan ayahnya pergi ke rumah sakit terdekat. Pak Karto yang keadaannya sudah tidak memungkinkan itu segera dilarikan ke UGD “Kenapa jadi seperti ini? Aku memang anak durhaka! Aku pantas dihukum” ucap Jaka sambil memukulkan kepalanya pada tembok. Tampak seorang dokter yang memakai jas putih keluar dari ruang UGD. “Apakah Anda keluarga dari Bapak Karjo?” Tanya Dokter. “Iya Pak, saya anaknya” jawab Jaka. “Mari ikut saya Nak” kata dokter.
Saat berjalan menuju ruang dokter, hati Jaka tidak karuan. Ia takut hal buruk terjadi pada ayahnya karena tindakanya. “Begini Nak, ayahmu divonis mengidap penyakit Jantung. Untung dia segera dilarikan ke sini, bila tidak mungkin ia telah terkena stroke.” Mendengar ucapan dokter, tubuhnya merasa lemas dan pusing. Jaka memilih untuk menebus semua kesalahannya dengan cara merawat ayahnya sampai sembuh.
Di tempat lain, wartawan Amerika yang sudah berjanji pada Deputi Kebudayaan Amerika untuk segera membawa Duta Wisata Indonesia yang berbakat mulai gelisah karena masalah yang dialami Jaka. Wartawan yang bernama John segera mencari alamat Pak Subarjo yang tak lain adalah guru Jaka. Suatu siang matahari nampak tak bersahabat. John mendatangi alamat Pak Subarjo dan menjelaskan tentang ketertarikannya pada Jaka dan ingin membawanya untuk dijadikan Duta Budaya di Amerika. Setelah mendengar semua penjelasan dari John, pak Subarjo kemudian berkata “Kalau begitu, akan aku bujuk Pak Karto supaya mengizinkan Jaka” ucap Pak Subarjo yang sedikit membuat lega sang wartawan.
Dengan gagah, nampak John dan Pak Subarjo menuju Rumah Sakit di mana Pak Karto dirawat dan segera menemuinya. Sesampainya di Rumah sakit, Pak subarjo menuju Customer Service Rumah Sakit Daerah Banjarnegara, tempat pak Karto dirawat. Nampak sebuah papan nama yang bertuliskan ‘Bapak Karto ruang Kenanga nomer 7’. Melihat keterangan yang ada di papan, mereka berdua langsung menuju kamar tersebut. Terlihat seorang bapak tua duduk di kursi roda dan memandang sebuah foto yang nampaknya adalah foto Pak Subarjo dan Pak Karto saat menari Jepin. Terdengar suara ketukan pintu dan masuklah dua orang Lelaki yang tak lain adalah Pak Subarjo dan John. “Selamat siang Pak Karto” ucap wartawan Amerika sambil menaruh parsel berisi buah-buahan di meja kamar rumah sakit. “Sianggg” jawab Pak karto yang nampak ramah, “Begini Pak, maaf bila tujuan saya mengganggu Bapak yang sedang beristirahat tapi tujuan saya ke sini adalah untuk meminta izin pada Bapak membawa Jaka untuk dijadikan Duta Budaya Indonesia di Amerika” ucap Wartawan tadi menjelaskan. Nampak terdengar suara hempasan nafas dari Pak Karto “HHhhh.. melihat keikhlasan hati Jaka saat merawat saya hingga saya menjadi lebih sehat, saya merasa kasihan dan berniat mengizinkan Jaka untuk menari Jepin lagi” ucap Pak Karto sambil melempar senyum simpul “Jadi kau akan mengizinkan anakmu? Terimakasih Karto terimakasih..” ucap Pak Subarjo dipelukan Pak Karto. “Nanti saya akan bicara pada Jaka supaya secepatnya ia dapat pergi ke Amerika” ucap Pak Karto pada Wartawan Amerika.
Malam gela sunyi dan dingin. Nampak Pak Karto yang duduk di atas kursi roda datang dan menghampiri Jaka, “Naak?” Panggil Pak Karjo yang membangunkan Jaka dari lamunanya, “Haah, iya Ayah” ucap Jaka kaget. “Malam yang dingin ini bolehkah ayah mengatakan suatu hal padamu?”  ucap Pak Karto, “Tentu Ayah, silakan” jawab Jaka “Tadi siang saat kau sedang keluar untuk membeli jajanan di pasar, Pak Subarjo dan wartawan Amerika datang ke sini dan mengutarakan tujuannya. Ia ingin membawamu ke Amerika dan menjadikanmu Duta wisata Indonesia untuk Amerika” Jelas Pak Karto. “Ke Amerika? Meninggalkan ayah saat ayah sedang seperti ini? Itu mustahil” Jawab Jaka. “Tidak apa-apa Nak, selagi kau di Amerika ayah akan dirawat oleh Pak Subarjo teman ayah sendiri. Jadi kau bisa tenang” ucap Pak Karto, “lalu kenapa Ayah dulu melarangku?” Tanya Jaka, “Ayah berpikir jika pekerja seni tidak akan menjamin kesejahteraan hidupmu, seperti pengalaman ayah dulu hingga Ibumu memilih meninggalkan ayah karena alasan ekonomi. Tapi ayah  sadar, kebahagiaanmu lebih berarti dari segalanya dan ayah yakin kau tidak akan menderita seperti ayah, kau akan sukses Naak” ucap Pak Karto. “Ayaaaah” jawab jaka sambil menangis di pelukan ayahnya “sekarang berkemaslah Nak, wartawan Amerika itu akan segera datang dan menjemputmu” ucap Pak Karto sambil mengusap kepala Jaka.
Jaka sangat bersyukur atas anugerah Tuhan. Ia segera pulang ke rumah mengambil tas besar dan merapikan baju dan perlengkapan Jepinnya. Saat itu juga datang wartawan Amerika dan Pak Subarjo menjemput Jaka “Jaka are you ready?” Tanya wartawan Amerika itu. “Iya sudah, tapi aku akan ke rumah sakit terlebih dahulu menemui ayah” Kata Jaka. Jaka yang membawa tas besar menuju kamar nampak bersemangat untuk meminta izin pada Ayahnya “Ayaaah, Jaka minta izin. Tolong doakan Jaka Ayaah” ucap Jaka sambil bersimpuh di kaki ayahnya. “Tentu Nak, doa ayah menyertaimu. Jangan lupa lanjutkan pendidikanmu di sana” ucap Pak Karto sambil menangis tersedu melepas kepergian anaknya.
            Tengah malam yang gelap, Jaka berjalan menuju keluar Rumah Sakit sambil melambaikan tangan pada ayahnya yang berada di kursi roda dan ditemani Pak Subarjo. “Alhamdulillah.... terimakasih Tuhan” ucap Jaka dalam hatinya saat menaiki mobil hitam yang akan menuju Bandara Adi Sucipto.

***


            “Luarr biasa,,luarr biasa, Jaka memang luarr biasa” Ucap Dino Patti Djalal, Duta Besar Indonesia yang ditugaskan di Amerika ketika turut menyaksikan pementasan Tari Jepin di Gedung Prebysterian Washington DC bersama Senator-Senator Amerika dan beberapa tokoh penting lainnya yang mendapat undangan panitia.
Share: