Kokok
ayam jantan bersahutan membangunkan tidur seorang remaja 13 tahun yang tak lain
adalah anak seorang mantan penari Jepin kondang dari Desa
Pasurenan Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara. Saat membuka jendela kamar
nampak sang mentari pagi menyapa seakan
memberikan kehangatan bagai selimut domba, sementara ayahnya yang sudah memulai
harinya dengan memikul segelendong kayu bakar dari hutan memanggil anak
lelakinya “Naaak kemari cepat, bantu ayah untuk menghidupkan api di pawon” panggil Pak Karto yang tak lain
adalah ayah dari Jaka. “Baik Pak”
sahut Jaka yang sangat
menghormati sosok ayahnya itu. Api dari pawon mulai bergejolak saat Jaka mulai
membolak balik kayu bakarnya, air panas dalam panci yang berada di atas
pawon segera ia angkat ketika airnya mulai bergemuruh. Air dalam panci itu ia
tuangkan dalam cangkir yang berisi purwaceng dan gula, terlihat asap di atas cangkir mungil
yang akan disajikan kepada ayahnya itu. “Silakan diminum Yah” Ucap Jaka sambil menyajikan
secangkir purwaceng. “Terimakasih Nak” sahut ayahnya, “Yah, bolehkah aku
bertanya sesuatu?” Tanya Jaka. “Boleh saja, mau bertanya apa kau, Nak?” jawab ayahnya
sehabis menyeduh secangkir purwaceng itu. “Apakah dulu ayah seorang penari
Jepin? Bisakah sekarang ayah ajarkan kepadaku, bagaimanakah tarian Jepin itu”
Ucap Jaka yang kemarin baru saja membuka lemari ayahnya dan menemukan beberapa
peralatan Tari
Jepin, “Sudahlah lupakan, tarian Jepin itu tidak penting Nak. Yang penting kau
sekarang menuntut ilmu setinggi-tingginya” Jawab Pak Karto dan kemudian
meninggalkan anaknya itu. “Kenapa ayah tidak mau mengajariku tarian Jepin?” ucap Jaka dalam hatinya.
Ia merasa bahwa dirinya harus
mulai belajar tarian Jepin itu sendiri.
Senja hari yang mulai redup itu, nampak Ayah Jaka sedang melamun di depan teras, ia
sedang memikirkan perkataan Jaka tadi tentang tari Jepin. Pak Karto sebenarnya
sudah memendam alasan pribadinya untuk melarang Jaka menari Jepin karena Pak Karto
dulunya seorang penari Jepin, tapi uang yang dihasilkan saat menari Jepin itu
tidak cukup untuk menghidupi keluarganya, maka dari itu istri Pak Jaka yang tak
lain adalah ibu Jaka memilih untuk meninggalkan Pak Karto “Jadi alasanku
melarang Jaka menari Jepin Karena tari Jepin tidak akan menjamin kesejahteraan
pada hidup anakku kelak, semoga kau dapat memahami, Nak” ucap Pak Karto dalam
hatinya.
Jaka
ingin mencari tahu tentang tarian Jepin, caranya dengan membuka kembali lemari
ayahnya. Saat ayahnya pergi ke masjid untuk menunaikan solat Maghrib, Jaka mendahului pulang dan segera memasuki
kamar ayahnya untuk
membuka lemari yang penuh berisi peralatan tari Jepin. Nampak baju bercorak
kotak-kotak hitam dan putih,
adapula yang berwarna merah dan celana yang ditekuk selutut ditata rapi, tapi
semua baju koleksi ayahnya itu kini telah berdebu, saat bajunya dipegang, jatuh selembar foto
Pak Karto bersama teman laki-lakinya mengenakan baju Jepin, saat foto itu dia
balik terlihat tulisan ‘Karto
dan Subarjo di Sumberejo’ “Mungkin aku bisa mengerti Tarian Jepin dari
teman ayah yang bernama Subarjo ini, berarti esok hari aku harus bangun pagi
dan bergegas ke Desa Sumberojo”
Fajar yang belum nampak, dan suara
kokok ayam pun
belum terdengar. Inilah saat bagi Jaka untuk pergi ke Desa Sumberejo.
Perjalanan dari Desa Pasurenan menuju Desa Sumberejo yang lumayan jauh tetap ia
tempuh walaupun dinginnya
subuh terus menerus masuk melalui pori-pori kulitnya. Perjalanan Jaka ditempuh dengan melewati
berbagai wisata alam di kecamatan
seperti Kawah Candradimuka, sebuah kawah yang konon menurut cerita pewayangan, Kawah
Candradimuka adalah tempat di
mana
Gatotkaca diceburkan oleh Batara Narada (utusan Kayangan) untuk ditempa hingga
menjadi sakti.
Kaki bocah ini terus
berlari hingga akhirnya sampai juga ia
di Desa Sumberejo.
Nampak seorang tua yang memikul
belerang kuning “Pak, nyuwun sewu badhe
nderek pirso dalemipun
Pak Subarjo” Tanya jaka menggunakan bahasa daerahnya
kepada lelaki tua yang memikul belerang tadi. “Wonten mriko Dek,
sing daleme wonten ing pojokan” Jawab lelaki tua
pemikul belerang “Oh injih turnuwun Pak”
Balas Jaka yang kemudian berjalan searah dengan arahan yang ditujukan pemikul
belerang tadi. Setelah lama berjalan nampak sebuah rumah yang ciri-cirinya sama
seperti yang disebutkan oleh
pemikul belerang kuning tadi.
Wajah lesu setelah lama mencari
rumah Pak Karto kini berubah menjadi wajah berseri karena sebentar lagi ia akan bisa mulai mempelajari Tari Jepin.
Suara ketukan tangan Jaka di pintu
kayu jati milik Pak Subarjo terdengar jelas oleh sang pemilik rumah, Setelah
kiranya dua kali mengetuk pintu nampak seorang lelaki tua yang rambutnya sudah
mulai putih “Pagi Paaak”
ucap Jaka saat pintu kayu dibukakan oleh Pak Subarjo. “Iya pagi, ada apa Nak? Sepagi ini Engkau sudah datang ke rumahku” Tanya Pak
Subarjo, “Saya Jaka anak dari Pak Karto” kata Jaka sambil menunjukan foto
Ayahnya bersama Pak Subarjo yang
ditemukannya tadi saat membuka
lemari baju ayahnya. “Kau anak Karto temanku? Duh Gusti, kau sudah besar sekali, Nak.
“Dulu aku terakhir bertemu
denganmu saat kau masih bayi,
Nak.” ucap Pak Subarjo
sambil mengusap kepala Jaka. “Kedatangan saya ke sini untuk meminta
bantuan Bapak agar mengajarkan
tari Jepin, ayah
saya sangat melarang saya mengenal tari Jepin, saat saya bertanya saja ayah malah pergi dan
mengatakan Jepin itu tidak penting” jelas Jaka. Mendengar cerita Jaka tentang
sikap ayahnya kini, Pak Subarjo juga bingung sendiri kenapa Karto teman
seperjuanganya menjadi seperti itu. “Jakaa masuk dulu sini, Nak” ajak Pak Subarjo, Jaka dengan wajah
sumringahnya kemudian masuk ke kediaman Pak Subarjo.
Pak Subarjo yang juga bingung dengan
temannya, ingin sekali
membantu Jaka anak temannya untuk mewariskan budaya
daerahnya. “Begini Nak, Tari Jepin itu berkembang dari Desa Pasurenan Dusun Wiroyoso pada
masa penjajahan Jepang,
gerakan yang digunakan gerak dasar silat sebagai olah kanuragan rakyat Indonesia
untuk dijadikan prajurit Jepang
dengan iringan musik, rebana, bedug sebagai daya tarik penampilan. Ayahmu melarangmu untuk
menari Jepin, Bapak
yakin dia pasti punya alasan
tersendiri“ Ucap Pak Subarjo.
Mendengar ucapan Pak
Subarjo mengenai ayahnya, Jaka menjadi semakin bingung. Tapi yang terpenting
bagi Jaka sekarang adalah ia harus bisa menari Jepin. Pak Subarjo dengan penuh
kesabaran mengajarkan gerakan demi gerakan mulai dari gerakan suru/jurus yang diiringi bunyi rebana dan bedug dengan nada satu-satu yang ditabuh dalam tempo cepat sampai
empat macam nomer gerakan suru/jurus . Saat senja datang, Jaka merasa latihan hari
ini cukup melelahkan dan
akhirnya mereka memutuskan untuk melanjutkan esok pagi. “Nak, kau memang
menuruni bakat ayahmu. Tiga bulan
yang akan datang Pemerintah Kabupaten Banjarnegara akan menyelenggarakan Dieng
Culture Festival. Apa kau bersedia untuk menari Jepin Nak?” mendengar
penawaran Pak Subarjo, Jaka langsung menerimanya “Benarkah aku boleh mengikuti
festival itu?” Jawab Jaka kaget, “Tentu Jaka,
kembalilah besok dan kita akan berlatih lebih keras”
Dengan langkah kaki yang semangat
karena sudah mulai bisa menari Jepin, Jaka
pulang ke rumahnya
dengan senyum gembira sambil mengulangi berbagai gerakan yang telah diajarkan Pak
Subarjo. Gunung gunung berbaris laksana bukit barisan, mega-mega putih berarak
layaknya kapas sutera, semilir angin yang berhembus perlahan seakan menjadi
saksi kebahagiaan anak ini. Sesampainya di rumah, ia takut ayahnya
sudah sampai duluan “Jangan-jangan
ayah sudah pulang, aduh bagaimana ini” Saat dia melongok ke dalam rumahnya, tak
nampak sosok ayahnya. Sandal ayahnya pun belum ada di depan rumah “Haah aman”
tutur Jaka. Karena laparnya, saat masuk rumah ia langsung menuju dapur dan
mengambil beberapa makanan khas dari
Dieng seperti Jipang ketan dan Manisan Carica. Kedua makanan kesukaan Jaka
ini langsung ia lahap dan dalam
beberapa menit, makanan ini telah memenuhi perutnya. Tak lama setelah Jaka
membereskan bungkus makananya, Ayahnya pulang membawa seikat tanaman Purwaceng
dan Kentang Dieng untuk dimasak “Nak, ini ayah bawakan makanan” ucap Ayah Jaka
saat memasuki rumahnya.
Pagi yang cerah menyambut Jaka yang
baru terbangun dari mimpi “Ini saatnya ke rumah Pak Subarjo dan berlatih Jepin.” Seperti biasanya,
udara subuh yang dingin menusuk,
tak pernah memudarkan semangat Jaka. Pagi ini ia berencana untuk mampir ke
sebuah danau hijau lumut yang bernama Sumur Jalatunda. Dulu, para pengunjung
yang mendatangi sumur ini sudah pasti akan melakukan ritual melempar koin
kuning, apabila koin bisa melewati Sumur Jalatunda, maka apa yang menjadi
cita-cita atau hajatnya akan terkabul. Namun sejak tahun 1990, Pemerintah Kabupaten Banjarnegara melarang
melempar koin dengan alasan yang tidak jelas, dan diganti dengan kerikil yang
jumlahnya tiga buah. Tiga buah kerikil ini melambangkan Antasena, Antareja dan
Antaboga. Saat sedang memandang ke tanah, Jaka melihat tiga buah kerikil dan
ingin mencoba melemparkanya. “Huupp!” Anehnya, tiga buah kerikil itu berhasil
melawati Sumur Jalatunda.
“Haah aku berhasil! Tapi apa iya yang dikatakan warga desa itu benar?” ucap Jaka
dalam hatinya yang masih belum percaya sepenuhnya akan mitos tentang Sumur
Jalatunda.
Sampai
di rumah Pak Subarjo, Jaka kembali dilatih memeragakan beberapa gerakan tarian
Jepin. Pak Subarjo yang melihat keelokan gerak tubuh Jaka merasa ada kemiripan dengan Ayahnya, Karto. Mulai dari gerakan tangan, kaki, cara
dia memeragakan suru
dan segala yang ada dalam diri Jaka. Dalam hati kecil Pak
Subarjo merasa
bahwa Jaka akan menjadi penari Jepin hebat. Hari demi hari berlalu, membuat bocah 13 tahun
ini semakin pandai dan elok dalam menarikan gerakan
Jepin yang totalnya ada dua puluh tiga gerakan,
Hari berlalu dan tak terasa pelaksanaan
Dieng Culture Festival yang akan diselenggarakan di Kecamatan Dieng semakin dekat, dan kabaranya
Festival ini juga akan mendatangkan para wartawan dari beberapa negara seperti Amerika.
“Jaka, apakah kau sudah siap dengan festival besok?” Tanya Pak Subarjo, “Tentu Pak, saya sangat siap”
jawab Jaka dengan percaya diri tinggi. “Baiklah sekarang kau pulanglah dulu ke rumah dan jaga
staminamu untuk esok pagi”
Saat matahari tenggelam dan hari
sudah mulai malam, ayah Jaka pulang membawakan Salak pondoh, Dawet Ayu dan Buntil, makanan khas dari
daerah Banjarnegara “Nak, tadi ayah diberi makanan enak ini oleh Ibu Suti tetangga
kita. Ayo dicoba dulu nak” ucap Pak Karto yang nampak sangat sayang dengan
anaknya. Melihat kasih sayang yang
ditunjukan ayahnya, Jaka merasa bersalah karena berlatih dan mempelajari Jepin
secara diam-diam. “Nak ayo dimakan, kasihan kan makanannya bila tidak termakan”
kata Ayah Jaka, “Emm iya baik Pak” jawab Jaka yang baru sadar dari lamunannya. Sambil
memakan makanan hangat ini, Jaka berpikir bagaimana caranya agar esok dia bisa
pulang tepat waktu, karena diperkirakan acara festival itu sampai sore hari.
Pagi yang diawali datangnya mentari cerah
menari di atas sana, nampak Jaka sedang
berdandan mengenakan kostum Jepin yang merupakan kostum para prajurit Indonesia
saat melawan Jepang. Tarian Jepin ini menunjukan rasa nasionalisme dan perjuangan
para prajurit kita saat melawan penjajah Jepang. “Jaka apakah kau sudah siap?
Jika sudah cepatlah ke sini Nak kau akan segera tampil” Tanya Pak Subarjo dari
kejuhan, “Iya Pak, Jaka akan segera ke situ” Jawab Jaka.
Tampak Bupati Banjarnegara, Bapak Sutedjo mengenakan
baju Batik bermotif Mega Mendung Dieng, akan segera memukul gong tanda
dimulainya Dieng Culture Festival. Festival ini dibuka dengan arak-arakan anak
berambut Gimbal menggunakan
kereta kuda ke sekeliling Desa Dieng, Upacara pemotongan Rambut Gimbal, serta pelarungan potongan
rambut Gimbal ke Telaga. Setelah selesai
acara Pembukaan, acara kembali dimeriahkan oleh rangkaian pentas seni yang
dibawakan oleh seniman Lokal seperti Tari Lengger, Tek-tek (Gelaran Musik
tradisional dari Bambu), Kesenian Rampak Yaksa dan Ebeg. Kesenian Jepin
ditampilkan sebagai penutup untuk festival kali ini, karena Jepin dinilai
paling mengesankan. Tiba saatnya Jaka dan temannya yang juga penari Jepin
menghibur para tamu yang hadir dalam festival kali ini. Iringan musik yang
dinamis serta gerakan tari Jepin yang gagah laksana prajurit perang yang siap
melawan Jepang memukau banyak penonton, terutama para wartawan dari Amerika.
Seusai festival, nampak sosok Pak
Karto penuh amarah menghampiri dan menampar pipi kanan putranya “Jakaaa! Apa
yang kau lakukan di sini Nak? Cepat pulang sekarang” bentak Pak Karto sambil
menarik tangan kanan Jaka. Dengan rasa kesal di hati, Jaka menuruti segala
permintaan ayahnya. Langit gelap dan awan hitam menyelimuti Dieng kini seakan menjadi
pertanda konflik antara ayah dan anak. “Sekarang kau masuklah ke kamar!
Renungg.. ” belum selesai ucap Pak Karto tadi, terlihat Pak Karto memegang
dadanya karena sesak. “Ayaaaah apa yang terjadi padamu, Yah?” Ucap Jaka sambil
menangis kebingungan. Dengan sekuat tenaga, ia mengantarkan ayahnya pergi ke
rumah sakit terdekat. Pak Karto yang keadaannya sudah tidak memungkinkan itu
segera dilarikan ke UGD “Kenapa jadi seperti ini? Aku memang anak durhaka! Aku
pantas dihukum” ucap Jaka sambil memukulkan kepalanya pada tembok. Tampak
seorang dokter yang memakai jas putih keluar dari ruang UGD. “Apakah Anda
keluarga dari Bapak Karjo?” Tanya Dokter. “Iya Pak, saya anaknya” jawab Jaka. “Mari
ikut saya Nak” kata dokter.
Saat berjalan menuju ruang dokter, hati Jaka tidak
karuan. Ia takut hal buruk terjadi pada ayahnya karena tindakanya. “Begini Nak,
ayahmu divonis mengidap penyakit Jantung. Untung dia segera dilarikan ke sini,
bila tidak mungkin ia telah terkena stroke.” Mendengar ucapan dokter, tubuhnya
merasa lemas dan pusing. Jaka memilih untuk menebus semua kesalahannya dengan
cara merawat ayahnya sampai sembuh.
Di tempat lain, wartawan Amerika yang sudah berjanji
pada Deputi Kebudayaan Amerika untuk segera membawa Duta Wisata Indonesia yang
berbakat mulai gelisah karena masalah yang dialami Jaka. Wartawan yang bernama
John segera mencari alamat Pak Subarjo yang tak lain adalah guru Jaka. Suatu
siang matahari nampak tak bersahabat. John mendatangi alamat Pak Subarjo dan
menjelaskan tentang ketertarikannya pada Jaka dan ingin membawanya untuk
dijadikan Duta Budaya di Amerika. Setelah mendengar semua penjelasan dari John,
pak Subarjo kemudian berkata “Kalau begitu, akan aku bujuk Pak Karto supaya
mengizinkan Jaka” ucap Pak Subarjo yang sedikit membuat lega sang wartawan.
Dengan gagah, nampak John dan Pak Subarjo menuju Rumah
Sakit di mana Pak Karto dirawat dan segera menemuinya. Sesampainya di Rumah
sakit, Pak subarjo menuju Customer Service Rumah Sakit Daerah Banjarnegara, tempat
pak Karto dirawat. Nampak sebuah papan nama yang bertuliskan ‘Bapak Karto ruang
Kenanga nomer 7’. Melihat keterangan yang ada di papan, mereka berdua langsung
menuju kamar tersebut. Terlihat seorang bapak tua duduk di kursi roda dan
memandang sebuah foto yang nampaknya adalah foto Pak Subarjo dan Pak Karto saat
menari Jepin. Terdengar suara ketukan pintu dan masuklah dua orang Lelaki yang
tak lain adalah Pak Subarjo dan John. “Selamat siang Pak Karto” ucap wartawan
Amerika sambil menaruh parsel berisi buah-buahan di meja kamar rumah sakit.
“Sianggg” jawab Pak karto yang nampak ramah, “Begini Pak, maaf bila tujuan saya
mengganggu Bapak yang sedang beristirahat tapi tujuan saya ke sini adalah untuk
meminta izin pada Bapak membawa Jaka untuk dijadikan Duta Budaya Indonesia di
Amerika” ucap Wartawan tadi menjelaskan. Nampak terdengar suara hempasan nafas
dari Pak Karto “HHhhh.. melihat keikhlasan hati Jaka saat merawat saya hingga
saya menjadi lebih sehat, saya merasa kasihan dan berniat mengizinkan Jaka
untuk menari Jepin lagi” ucap Pak Karto sambil melempar senyum simpul “Jadi kau
akan mengizinkan anakmu? Terimakasih Karto terimakasih..” ucap Pak Subarjo
dipelukan Pak Karto. “Nanti saya akan bicara pada Jaka supaya secepatnya ia
dapat pergi ke Amerika” ucap Pak Karto pada Wartawan Amerika.
Malam gela sunyi dan dingin. Nampak Pak Karto yang
duduk di atas kursi roda datang dan menghampiri Jaka, “Naak?” Panggil Pak Karjo
yang membangunkan Jaka dari lamunanya, “Haah, iya Ayah” ucap Jaka kaget. “Malam
yang dingin ini bolehkah ayah mengatakan suatu hal padamu?” ucap Pak Karto, “Tentu Ayah, silakan” jawab
Jaka “Tadi siang saat kau sedang keluar untuk membeli jajanan di pasar, Pak
Subarjo dan wartawan Amerika datang ke sini dan mengutarakan tujuannya. Ia
ingin membawamu ke Amerika dan menjadikanmu Duta wisata Indonesia untuk
Amerika” Jelas Pak Karto. “Ke Amerika? Meninggalkan ayah saat ayah sedang
seperti ini? Itu mustahil” Jawab Jaka. “Tidak apa-apa Nak, selagi kau di
Amerika ayah akan dirawat oleh Pak Subarjo teman ayah sendiri. Jadi kau bisa
tenang” ucap Pak Karto, “lalu kenapa Ayah dulu melarangku?” Tanya Jaka, “Ayah
berpikir jika pekerja seni tidak akan menjamin kesejahteraan hidupmu, seperti
pengalaman ayah dulu hingga Ibumu memilih meninggalkan ayah karena alasan
ekonomi. Tapi ayah sadar, kebahagiaanmu
lebih berarti dari segalanya dan ayah yakin kau tidak akan menderita seperti
ayah, kau akan sukses Naak” ucap Pak Karto. “Ayaaaah” jawab jaka sambil menangis
di pelukan ayahnya “sekarang berkemaslah Nak, wartawan Amerika itu akan segera
datang dan menjemputmu” ucap Pak Karto sambil mengusap kepala Jaka.
Jaka sangat bersyukur atas anugerah Tuhan. Ia segera
pulang ke rumah mengambil tas besar dan merapikan baju dan perlengkapan Jepinnya.
Saat itu juga datang wartawan Amerika dan Pak Subarjo menjemput Jaka “Jaka are you ready?” Tanya wartawan Amerika
itu. “Iya sudah, tapi aku akan ke rumah sakit terlebih dahulu menemui ayah”
Kata Jaka. Jaka yang membawa tas besar menuju kamar nampak bersemangat untuk
meminta izin pada Ayahnya “Ayaaah, Jaka minta izin. Tolong doakan Jaka Ayaah”
ucap Jaka sambil bersimpuh di kaki ayahnya. “Tentu Nak, doa ayah menyertaimu.
Jangan lupa lanjutkan pendidikanmu di sana” ucap Pak Karto sambil menangis
tersedu melepas kepergian anaknya.
Tengah malam yang gelap, Jaka
berjalan menuju keluar Rumah Sakit sambil melambaikan tangan pada ayahnya yang
berada di kursi roda dan ditemani Pak Subarjo. “Alhamdulillah.... terimakasih
Tuhan” ucap Jaka dalam hatinya saat menaiki mobil hitam yang akan menuju
Bandara Adi Sucipto.
***
“Luarr biasa,,luarr biasa, Jaka
memang luarr biasa” Ucap Dino Patti Djalal, Duta Besar Indonesia yang
ditugaskan di Amerika ketika turut menyaksikan pementasan Tari Jepin di Gedung
Prebysterian Washington DC bersama Senator-Senator Amerika dan beberapa tokoh
penting lainnya yang mendapat undangan panitia.